Lampau: Sungsang Lebam Telak (2008)

Tidak pernah saya sangka sebelumnya, bahwa trio freejazz/absurd/jenaka/konseptual/apapun labelnya yang bernama Sungsang Lebam Telak yang pernah saya wawancarai di tahun 2008, empat tahun kemudian bisa memenangkan penghargaan musik bergengsi ICEMA, Indonesian Cutting Edge Music Awards. Sebuah prestasi yang membanggakan.

Saya juga pernah mengundang mereka untuk bermain live di acara release party majalah Jeune di tahun 2008, bermain bersama Santamonica dan Monday Math Class. Ketika Santamonica saat itu datang dengan peralatan musik yang sangat banyak dan mahal, Sungsang Lebam Telak malah hanya membawa sepasang stick drum. Peralatan sisanya? Pinjam ke sana kemari. Termasuk meminjam bass saya waktu itu. :D


Sesaat sebelum tampil, mereka meminta saya sebagai panitia untuk menyediakan tiga buah headphone. Jadi konsepnya, ketiga personil Sungsang Lebam Telak masing-masing akan mendengarkan musik yang berbeda-beda dengan headphone saat sedang tampil. Dan masing-masing akan berusaha untuk meniru permainan musik dari apa yang mereka dengar saat itu.

Kacau. haha

Begitulah mereka. Sungsang Lebam Telak memang lebih layak dikatakan sebagai proyek kesenian yang sewaktu-waktu bisa melakukan performance art dibandingkan disebut sebagai sebuah band pada umumnya.

Dalam seri Lampu kali ini, saya memuat ulang artikel saya mengenai Sungsang Lebam Telak untuk edisi majalah Jeune di tahun 2008. Saat itu Sungsang Lebam Telak baru merilis debut ep Kecuali Mengenang Betismu. Artikel ini saya buat berdasarkan wawancara dengan mereka bertiga. Tadinya saya mau memuat ulang wawancaranya saja, namun berkasnya masih sangat berantakan dan saya terlalu malas untuk mengeditnya.

Semua foto oleh Indra Permana yang mengambil tempat di sebuah galeri kesenian ternama di Bandung, Selasar Sunaryo.



Pada suatu hari di tahun 2005, seorang mahasiswa sastra Indonesia bernama Gembi mengisi waktu kosongnya dengan ber-jam session di studio musik milik IF Venue - sebuah ruang seni alternatif di kota Bandung yang kini telah tiada - yang kala itu sedang tidak digunakan. Gembi dengan skill yang terbatas, memainkan bas dan berusaha semampunya untuk mengikuti alunan melodi gitar dan vokal yang dimainkan oleh teman kuliahnya yang bernama Ageng yang saat itu sedang berpura-pura menirukan gaya bermain Mus Mujiono - yang terkenal sebagai ‘George Benson-nya Indonesia.’ 

Sekonyong-konyong, terciptalah sebuah musik yang terdengar liar, mentah dan tidak beraturan. Saat itu juga, Gembi menyadari bahwa inilah musik yang selama ini ia cari. ”Secara intuitif, saat itu gue langsung bilang, ini nama bandnya Sungsang Lebam Telak,” kata Gembi yang dikemudian hari mengajak teman satu kampusnya yang lain yang bernama Dani untuk mengisi posisi drum. 

Maka terbentuklah trio Sungsang Lebam Telak atau yang biasa disingkat dengan ejaan SL*T yang juga merupakan perwujudan dari mimpi Ageng yang dulunya ingin sekali membuat band dengan format trio. ”Karena pas SMA gue gagal bikin band Nirvana-Nirvana-an. Gagal berteriak bagaikan Kurt Cobain, ” kata Ageng dengan tawa berderai. 

Sungsang Lebam Telak bermakna sebuah situasi yang hancur lebur yang pada kelanjutannya tanpa mereka sadari, nama tersebut selaras dengan konsep dari band itu sendiri. Gue mikirnya itu gambaran kami ngeliat kekacauan yang ada di depan mata kami, seperti kehidupan scene musik ataupun keadaan orang yang euforia dengan ideologi,” jelas Gembi.

SL*T memang sebuah band yang mempunyai konsep yang kuat, mulai dari eksekusi musikal maupun konsistensi mereka dalam mengangkat wacana-wacana tertentu, salah satunya adalah wacana arogansi yang kerap kali mereka tampilkan dalam manifesto mereka yang menyebutkan bahwa SL*T adalah band terbaik di seluruh dunia. ”Yang pasti mengenai arogansi yang emang kami junjung tinggi, itu sebagai sindiran juga. Banyak band yang sok-sok merendah padahal mereka kehidupan aslinya tengil. Kita males banget dengan perilaku gitu,” jelas Dani, seorang mahasiswa sastra jurusan Sejarah yang juga seorang pecandu lelucon mengenai anatomi tubuh. Untuk hobinya ini, dia mengaku, ”Pernah satu malem dari jam 12 ampe jam 4 pagi, gue ama anak-anak ngelawak tentang anggota tubuh. Gue ngebayangin kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh manusia, kira-kira gimana kalau dilakukan oleh anggota tubuh.” 

Lelucon-lelucon itulah yang kemudian diracik olehnya dengan bantuan Gembi menjadi judul-judul lagu SL*T seperti ”Apabila Setiap Ketiak Saling Membentak”, ”Terbenam di Lautan Kegagahan Dubur” dan berbagai judul absurd lainnya yang termuat dalam mini album kedua mereka, Kecuali Mengenang Betismu yang dirilis sendiri dan dibagikan secara cuma-cuma

Mini album ini menampilkan enam kompossi free jazz penuh improvisasi dengan gejolak kekacauan yang terogarnisir yang (lagi-lagi) mereka angkat dalam sebuah wacana parodi untuk menyindir ranah musik jazz yang sering dianggap eksklusif dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan skill musik yang tinggi. ”Entah hasilnya terdengar jazz atau nggak. Yang penting kami udah berusaha untuk itu,” kata Gembi. ”Bagi orang yang khusus mendengarkan jazz, mungkin mereka mikir kami apaan, mereka mungkin akan menghujat kami,” ucap Dani, ”Tapi kalau diibaratkan sebagai manusia, SL*T seperti Soeharto, banyak dihujat tapi ketika orang melihat mukanya dia, siapapun juga pasti luluh. Kalau Soeharto disebut smiling jendral, kami juga bisa disebut smiling jazzer.”



Sungsang Lebam Telak - Kecuali Mengenang Betismu EP juga dirilis oleh net label Perancis bernama Edogm. Untuk mengunduh album mereka, bisa kunjungi : www.edogm.net Untuk informasi lebih lanjut mengenai SL*T, bisa kunjungi : www.myspace.com/sungsanglebamtelak



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Day #11: The Like In I Love You

Lampau: Ulasan Album Centralismo - SORE

Enam Lagu Yang Mendefinisikan Paloh Pop